Rabu, 04 Agustus 2010

ETIKA TAOISME MEMPERKENALKAN FILSAFAT TAOISME




Apakah anda mengetahui salah satu bela diri asal Jepang yang disebut sebagai Aikido? Nah, Aikido adalah bentuk ilustrasi hidup dari konsep etika wu-wei. Di dalam aikido, orang bergerak mengikuti keinginan dan arah gerakan lawannya, dan sama sekali tidak melakukan perlawanan. Teknik mengalahkan lawan bukan dengan menyerangnya dengan kekerasan, tetapi dengan secara pasif menggunakan kekuatannya untuk menjatuhkannya sendiri. Wu-wei, yang secara literer biasanya diterjemahkan sebagai non-tindakan (non-action), atau tidak bertindak apapun (doing nothing), adalah konsep terpenting di dalam etika Taoisme. Di dalam filsafat Tao, non tindakan berarti orang bertindak seturut dengan hukum-hukum langit (heaven). Jika dikaitkan dengan kehidupan manusia, non-tindakan mengacu pada sikap untuk tidak memaksakan hal-hal yang berjalan secara alami di dalam realitas. “Dengan demikian”, demikian tulis Alan Watts dalam bukunya tentang Taoisme, “non tindakan adalah suatu gaya hidup dari seseorang yang mengikuti Tao, dan harus dimengerti pertama-tama sebagai suatu bentuk kecerdasan.”[1] Jadi, non-tindakan adalah suatu bentuk kecerdasan tertentu, dan sekaligus tuntutan bagi orang untuk hidup berdasarkan Tao. Dua hal ini saling berkaitan, yakni seseorang mengikuti Tao karena ia memiliki kecerdasan untuk melakukan itu, atau karena ia memiliki kecerdasan tertentu, maka ia dapat mengikuti jalan Tao.

Pesan mendasar dari Taoisme adalah bahwa kehidupan ini terdiri keseluruhan yang bersifat organik dan saling terhubung (organic and interconnected whole), yang terus berubah secara konstan. Gerak perubahan yang bersifat tetap ini merupakan bagian dari tatanan alamiah alam semesta. Manusia berubah bersama alam yang terus berubah secara alami. Dengan menyadari adanya kesatuan antara alam dan manusia, dan belajar untuk hidup menyesuaikan diri dengan gerak alamiah alam, orang akan sampai pada keadaan yang sepenuhnya bebas dan merdeka, sekaligus secara langsung terhubung dengan gerak kehidupan dari alam semesta. Pada tahap ini, orang hidup bersama dan melalui Tao. Orang hidup dalam kesatuan dengan Tao. Ini adalah tingkat tertinggi di dalam kehidupan manusia.[2]

Secara literal, kata Taoisme mengacu pada suatu aliran pemikiran yang berfokus pada arti penting dari Tao, atau apa yang disebut sebagai “Jalan” (The Way). Definisi ini memang bernada terlalu umum. Akibatnya, banyak orang yang mengklaim sebagai seorang Taois memiliki definisi yang berbeda-beda tentang apa yang sesungguhnya dimaksud dengan Tao. Jadi, bahkan setiap individu yang mengklaim mengikuti “Jalan Tao” pun memiliki arti yang berbeda-beda tentang apa itu Tao sebenarnya. Walaupun tidak ada pengertian yang cukup umum diterima tentang apa itu Tao sebenarnya, tetapi di dalam Taoisme, kata Tao memiliki tempat yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan aliran-aliran lain yang juga menggunakan kata tersebut, seperti pada Konfusianisme misalnya.[3] Tao adalah konsep utama di dalam aliran pemikiran yang dirumuskan pertama kali oleh Lao Tzu dan Chuang Tzu. Di dalam aliran pemikiran ini, Tao dipandang sebagai sebuah konsep sentral yang bersifat metafisis yang memberi dasar bagi keseluruhan kehidupan.

Tao adalah sebuah konsep yang dirumuskan untuk secara langsung memahami berbagai peristiwa yang ada di dunia, baik peristiwa yang sederhana maupun peristiwa yang kompleks. Di dalam literatur-literatur klasik Cina, kata Taoisme pertama kali ditemukan di dalam tulisan-tulisan Shi Chi (Historical Records) yang ditulis oleh Ssu-ma Ch’ien (145-867 BC), yakni empat ratus tahun setelah kematian Lao Tzu. Menurut Ssu-ma Ch’ien, Taoisme memiliki tradisi yang sangat dipengaruhi oleh aliran Huang Lao. Huang Lao adalah aliran pemikiran yang didirikan oleh Kaisar Kuning (Yellow Emperor) yang dianggap sebagai salah satu nenek moyang orang-orang Cina. Aliran Huang Lao muncul pada sekitar abad ke-3 atau keempat sebelum Masehi, tepatnya pada masa Warring (Warring Period), dan menjadi semakin terkenal pada abad kedua sebelum Masehi, tepatnya pada masa pemerintahan Dinasti Han. Sejak saat itulah arti kata Tao menjadi semakin beragam dan rumit. Pada abad ketiga setelah Masehi, Taoisme tidak lagi diidentikan dengan aliran Huang Lao, tetapi dengan ajaran-ajaran Lao Tzu dan Chuang Tzu. Di titik inilah Taoisme tidak lagi berperan sebagai ajaran tentang kehidupan bersama dan tentang politik, tetapi lebih sebagai ajaran spiritual dan ajaran mistik (mystical learning). Taoisme pun menjadi suatu gerakan religius yang ditandai dengan upaya manusia untuk mencapai keabadian (immortality) dengan Lao Tzu sebagai tokoh utamanya.

Para ahli di Cina sekarang ini membedakan antara Taoisme sebagai filsafat, dan Taoisme sebagai agama. Taoisme sebagai filsafat disebut juga sebagai Tao Chia, sementara Taoisme sebagai agama disebut juga sebagai Tao Chiao. Sebagai sebuah ajaran filsafat, Taoisme bersama dengan Konfusianisme dan Buddhisme mendominasi kehidupan masyarakat Cina pada abad ketiga setelah Masehi. Ketiga aliran ini disebut juga sebagai “Ketiga Ajaran” (three teachings). Di dalam masyarakat Cina kontemporer, Konfusianisme memang memiliki pengaruh yang masih besar, tetapi tidak pernah menjadi sebuah ajaran yang memiliki institusi resmi, seperti misalnya yang terdapat di dalam Taoisme.[4]

Filsafat Taoisme

Sebagai suatu ajaran filosofis, Taoisme didirikan oleh Lao Tzu pada abad keenam sebelum Masehi. Ajaran ini terus berkembang sampai abad kedua sebelum Masehi. Filsafat Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di dalam ajaran-ajaran awal tentang Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber yang unik dari alam semesta dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri dari bagian yang positif dan bagian yang negatif; dan bahwa semua yang berlawanan selalu mengubah satu sama lain; dan bahwa orang tidak boleh melakukan tindakan yang tidak alami tetapi mengikuti hukum kodratnya.”[5] Sikap pasrah terhadap hukum kodrat dan hukum alam ini disebut juga sebagai wu-wei.

Di dalam masyarakat Cina kuno, filsafat dan agama belumlah dibedakan secara tegas. Sejak Taoisme mulai dikenal di dalam dunia berbahasa Inggris, pembedaan antara Taoisme sebagai filsafat dan Taoisme sebagai agama belumlah ada. Pada pertengahan 1950, para ahli sejarah dan Filsafat Cina berpendapat bahwa ada perbedaan tegas di antara keduanya, walaupun memang keduanya berdiri di atas tradisi yang sama. Marcel dan Granet dan Henri Maspero adalah orang-orang yang melakukan penelitian mendalam di bidang ini.

Memang, ada keterkaitan erat antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme. Para filsuf Tao sendiri dianggap sebagai pendiri Taoisme, baik sebagai filsafat maupun sebagai agama. Buku paling awal yang memuat ajaran Tao ini berjudul Classic of Great Peace (T’ai-p’ing Ching) yang dianggap merupakan tulisan tangan langsung dari Lao Tzu. Dalam arti tertentu, Lao Tzu sendiri seringkali dianggap sebagai „dewa“. Ia punya beberapa julukan, seperti „Saint Ancestor Great Tao Mysterious Primary Emperor“,[6] dan „Yang memiliki status sebagai Dewa“ (The Divine) itu sendiri.[7]

Perbedaan dasar antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga terletak pemahaman tentang tujuan dari keberadaan manusia itu sendiri. Para filsuf Taois berpendapat bahwa tujuan setiap orang adalah mencapai transendensi spiritual. Oleh sebab itu, mereka perlu menekuni ajaran Tao secara konsisten. Sementara, para pemuka agama Taoisme berpendapat bahwa tujuan setiap manusia adalah untuk mencapai keabadian, terutama keabadian tubuh fisik (physical immortality) yang dapat dicapai dengan hidup sehat, sehingga bisa berusia panjang. Pada titik ini, kedua ajaran Taoisme ini berbeda secara tajam. Para filsuf Taoisme berpendapat bahwa usia panjang itu tidaklah penting. “Hanya orang-orang yang tidak mencari kehidupan setelah mati”, demikian tulis Lao Tzu di dalam Tao Te Ching pada bagian ke-13, “yang lebih bijaksana di dalam memaknai hidup.”[8] Di dalam beberapa tulisannya, Chuang Tzu menyatakan, “Orang-orang Benar pada masa kuno tidak mengetahui apapun tentang mencintai kehidupan, dan mereka juga tidak mengetahui apapun tentang membenci kematian.”[9] Lao Tzu juga menambahkan, “Hidup dan mati sudah ditakdirkan – sama konstannya dengan terjadinya malam dan subuh… manusia tidak dapat berbuat apapun tentangnya.”[10] Jelaslah bahwa para filsuf besar Taoisme menyatakan bahwa orang tidaklah perlu untuk memilih antara kehidupan atau kematian. Alih-alih hidup di dalam keresahan di antara keduanya, orang harus melampaui perbedaan di antara keduanya. “Sikap transenden dari filsafat Taoisme terhadap hidup dan kematian”, demikian tulis Xiaogan, “…..adalah mengikuti alam dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak alamiah”.[11] Sikap mengikuti alam disebut juga sebagai tzu-jan, dan sikap pasif dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak alami disebut juga sebagai wu-wei. Kontras dengan itu, Taoisme sebagai agama justru menekankan pentingnya keabadian jiwa sebagai prinsip utama.

Filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga berbeda pendapat tentang bagaimana seharusnya orang bersikap di hadapan penguasa politik. Filsafat Taoisme menolak tradisi (antitraditional) dan berupaya melampaui nilai-nilai yang diakui bersama. Lao Tzu dan Chuang Tzu bersikap kritis terhadap penguasa pada jamannya, dan juga terhadap nilai-nilai Konfusianisme tradisional. Mereka berdua berpendapat bahwa masyarakat akan jauh lebih baik, jika semua bentuk aturan, moralitas, hukum, dan penguasa dihapuskan. Di sisi lain, para pemuka agama Taoisme sangat menghormati penguasa dan aturan-aturan Konfusianisme. “Orang-orang yang hendak memiliki keabadian”, demikian tulis Ko Hung (284-343), seorang pemuka agama Taoisme, “haruslah menempatkan kesetiaan kepada penguasa dan kesalehan yang tulus kepada orang tua mereka… sebagai prinsip dasar.”[12] K’ou Ch’ien Chih, seorang pemuka agama Toaisme lainnya, juga berpendapat bahwa setiap orang haruslah mempelajari Konfusianisme, serta secara aktif membantu kaisar di dalam mengatur dunia. Agama Taoisme memang memberikan perhatian besar pada kepentingan-kepentingan praktis yang bersifat temporal. Jika filsafat Taoisme lebih bersifat individualistik dan kritis, maka agama Taoisme dapat dipandang sebagai ajaran yang lebih bersifat sosial dan praktis.[13] Dalam arti ini, para filsuf Taoisme memiliki pengertian-pengertian yang agak berbeda tentang konsep-konsep dasar Taoisme, seperti wu-wei, Tao, dan te, jika dibandingkan dengan pengertian para pemuka agama Taoisme.

Metafisika Taoisme

Lao Tzu dapatlah dipandang sebagai perumus sistem pemikiran metafisis pertama di dalam sejarah intelektual Cina. Fokus dari metafisikanya adalah konsep Tao itu sendiri. Secara literer, seperti sudah disinggung sebelumnya, Tao berarti “Jalan”. Definisi yang sangat umum membuat banyak aliran di dalam Taoisme mendefinisikan implikasi Tao bagi kehidupan bermasyarakat secara amat beragam. Menurut Lao Tzu, Tao adalah “sumber umum bagi seluruh alam semesta.”[14] Tao, dengan demikian, adalah suatu konsep metafisis. Tidaklah mungkin mencari padanan kata yang tepat untuk menggambarkan secara akurat arti dari kata Tao, bahkan di dalam bahasa Cina.

Akan tetapi, ada beberapa deskripsi yang kiranya bisa memberi gambaran yang cukup memadai tentang Tao. Tao adalah “asal usul yang unik tentang dunia.”[15] Lao Tzu secara eksplisit menulis, “Tao menghasilkan Yang Satu. Yang Satu menghasilkan yang Dua. Yang Dua menghasilkan yang Tiga, dan yang Tiga menghasilkan sepuluh ribu hal lainnya.”[16] Tao adalah sumber utama. Yang Satu (the One) adalah ada yang bersifat primordial (primordial being), atau Chaos itu sendiri. Yang Dua disebut juga sebagai yin, atau sisi feminin, sekaligus yang, atau sisi maskulin. Yin juga dikenal sebagai sisi negatif, dan Yang adalah sisi positif. Yang Tiga adalah kesatuan antara yin dan yang. Selain menjadi ajaran metafisis di dalam Taoisme, konsep-konsep seperti Tao, yang Satu, yang Dua, dan yang Tiga ini juga menjadi asal usul dari alam semesta itu sendiri. Ini adalah kisah penciptaan versi Taoisme.[17]

Tao menentukan segala sesuatu, dan segala sesuatu bergantung pada Tao. Lao Tzu sangat yakin, bahwa Tao bersifat universal. Segala sesuatu berasal dari Tao, dan merupakan pengembangan dari Tao itu sendiri. Tao, dengan demikian, juga merupakan proses yang bersifat universal dan prinsip tertinggi. Ini adalah ontologi yang paling mendasar dari Taoisme.

Tao juga memiliki sifat yang misterius. “Kita memandang Tao”, demikian tulis Lao Tzu, “tetapi tidak melihatnya… kita mendengar Tao tetapi tidak mendengarkannya…Kita menyentuhnya tetapi tidak menemukannya… Bergerak ke atas, tetapi tidak terang, dan bergerak rendah ke bawah, tetapi tidak gelap. Tidak terbatas... dan tidak bisa diberikan nama apapun.“[18] Tao tidaklah bisa dimengerti dengan akal budi dan panca indera manusia, tetapi Tao itu adalah ada-yang-nyata (real being). Tao berada di level yang melampaui pengetahuan biasa yang diperoleh melalui intelek manusia. Akan tetapi, Tao dapatlah diketahui melalui intuisi. „Pengejaran dalam hal pembelajaran“, demikian tambah Lao Tzu, „bergerak maju dari hari ke hari. Pengejaran dalam hal Tao menurun dari hari ke hari.“[19] Untuk menyadari keberadaan Tao, orang haruslah bergerak melampaui kemampuan kognitif mereka. Pengenalan atas Tao membutuhkan lebih dari sekedar „ketrampilan kognitif biasa yang dimiliki oleh orang pada umumnya.“[20] „Orang“, demikian Lao Tzu, „dapat melihat Tao Surga tanpa perlu melihat melalui jendela.“[21]

Tao bergerak secara alami dan spontan. Tao tidak memiliki kehendak ataupun tujuan. “Manusia”, demikian Lao Tzu, “mendapatkan modelnya dari bumi, bumi dari surga, surga dari Tao, dan Tao dari spontanitas.”[22] Tao “menyelesaikan tugasnya, tetapi tidak mengklaim kredit darinya. Tao memberikan pakaian dan makanan kepada semua hal tetapi tidak mengklaim menjadi penguasa atasnya. Tao selalu bergerak tanpa keinginan… segala sesuatu datang kepadanya dan Tao tidak menguasainya;”[23] Jadi, Tao bergerak secara alami. Akan tetapi, Tao bukanlah seperti Tuhan yang menciptakan dunia dengan tujuan tertentu. Di dalam Konfusianisme, Tao adalah prinsip umum yang mengatur moralitas dan politik, sementara Te adalah keutamaan individual. Akan tetapi, bagi Lao Tzu, Tao adalah realitas yang paling ultim sekaligus prinsip umum dari alam semesta. Sementara, Te adalah partikularisasi dari Tao yang terwujud dalam diri seseorang, ketika ia hidup sesuai dengan Tao.

Etika wu-wei

Seperti sudah disinggung sebelumnya, filsafat Lao Tzu sangat kritis terhadap tradisi. Metode yang ia pakai di dalam berfilsafat pun terkesan tidak umum. Misalnya, ia menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini mengandung dua unsur yang saling berlawanan, dan setiap unsur yang berlawanan tersebut saling tergantung satu sama lain. “Ada dan Non-Ada”, demikian tulisnya, “menghasilkan satu sama lain, hal yang susah dan hal yang mudah menyempurnakan satu sama lain; panjang dan pendek saling berlawanan satu sama lain… depan dan belakang mengikuti satu sama lain. Dengan begitu, pesan agung yang ingin disampaikan adalah ketiadaan tindakan, dan menyebarkan doktrin tanpa kata-kata.”[24] Teori bahwa segala sesuatu yang bertentangan selalu mengandaikan dan mengubah satu sama lain merupakan dasar dari metafisika Taoisme, sekaligus fondasi bagi etika wu-wei, yang merupakan inti dari ajaran etika Taoisme. Aforisme Cina berikut ini menggambarkan dengan jelas pengandaian dasar etika Taoisme, “Malapetaka adalah sesuatu yang menjadi dasar bagi kebahagiaan; kebahagiaan adalah ketika malapetaka menjadi tersembunyi.”[25]

Di dalam tulisan-tulisannya, Lao Tzu membagi menjadi sekitar tujuh puluh konsep yang saling bertentangan, namun mengandaikan satu sama lain. Sebagian besar diantaranya dapat diringkas ke dalam perbedaan antara pasivitas dan aktivitas, antara kelembutan dan kekerasan, dan antara kompetisi dan kesabaran. Ia kemudian berpendapat, bahwa pasitivitas itu lebih menguntungkan daripada aktivitas. Kelembutan lebih berguna daripada kekerasan, dan kesabaran lebih berguna daripada kompetisi. “Memahami kemuliaan”, demikian tulisnya, “tetapi sekaligus menjaga kerendahatian, … memahami yang putih tetapi juga menjaga yang hitam.”[26] Karena orang mudah sekali jatuh ke dalam hal-hal yang berlawanan dari yang diinginkannya, maka adalah lebih baik bagi setiap orang, jika ia mulai dengan hal-hal yang tidak diinginkannya, lalu bergerak ke hal-hal yang diinginkannya. “Untuk memperoleh sesuatu”, demikian Lao Tzu, “adalah perlu bagi orang untuk pertama-tama memberi.”[27] Jadi, untuk mencapai sesuatu, orang harus pertama-tama memulai dengan yang berlawanan dari yang ingin dia capai. Dengan demikian, esensi dari pendekatan Lao Tzu adalah “dengan mulai mengejar tujuan dari titik yang secara diametral bertentangan dengan tujuan itu.”[28]

Dari kesimpulan di atas, kita bisa menarik poin bahwa inti dari etika Taoisme yang ditawarkan oleh Lao Tzu adalah wu-wei, yang dalam bahasa Cina secara literer berarti tidak adanya tindakan, atau tidak melakukan apa-apa. Hal ini tidak berarti bahwa orang murni tidak melakukan apapun secara mutlak. “Wu-wei”, demikian tulis Xiaogan dalam tulisannya tentang Taoisme, “adalah suatu konsep atau ide yang digunakan untuk menegasi atau mengurangi tindakan manusia.”[29] Dengan kata lain, wu-wei berarti pembatalan dan sekaligus pembatasan tingkah laku manusia, terutama tingkah laku di dalam dunia sosial. Ada beberapa tingkatan wu-wei di dalam Taoisme, mulai dari wu-wei sebagai tidak melakukan apapun, wu-wei sebagai melakukan tindakan seminimal mungkin, wu-wei sebagai tindakan pasif ke dalam dunia sosial, wu-wei sebagai sikap menunggu perubahan alami dari hal-hal yang ada, dan wu-wei sebagai bertindak seturut kondisi obyektif yang hakekat dari permasalahan yang ada. Yang terakhir ini sering juga disebut sebagai bertindak alami (acting naturally). Semua hal ini, menurut Xiaogan, bisa dipahami dalam satu konsep, yakni konsep non-tindakan (non-action).[30] Etika wu-wei adalah etika non-tindakan.

Lao Tzu sendiri sangat yakin, bahwa wu-wei akan dapat menciptakan kehidupan bermasyarakat yang harmonis dan damai. “Semakin besar hukum dan tatanan diberlakukan”, demikian tulisnya, “maka semakin banyak pencuri dan perampok.. oleh karena itu seorang bijak akan berkata: saya tidak bertindak apa-apa dan orang itu sendiri akan berubah.”[31] Lawan dari sikap wu-wei adalah yu-wei, atau apa yang disebut sebagai bertindak. Yu-wei ini menciptakan hukum dan tatanan, serta dengan itu juga menciptakan para pencuri dan orang-orang yang melanggar tatanan. Sementara kontras dengan itu, wu-wei menciptakan kemakmuran bersama, harmoni, dan kedamaian. “Sebuah kerajaan”, demikian tulis Lao Tzu, “seringkali diberikan kepada orang yang tidak melakukan tindakan. Jika orang melakukan tindakan, maka ia tidak cukup memadai untuk memenangkan sebuah kerajaan.”[32] Kehidupan yang ideal hanya dapat dicapai, jika orang menerapkan etika wu-wei ini di dalam hidupnya.

Wu-wei sangat menekankan nilai-nilai spesifik, seperti pasivitas, sikap mengalah, dan ketenangan. Menurut Lao Tzu, nilai-nilai ini sangatlah penting, terutama bagi orang-orang yang lemah dan tidak beruntung di dalam hidupnya. Dengan menerapkan wu-wei di dalam hidupnya, orang-orang yang lemah bisa menaklukan orang-orang yang kuat dengan kelembutannya. Inilah keuntungan dari sikap wu-wei. “Hal yang paling lembut di dunia”, demikian Lao Tzu, “dapat melampaui hal yang paling keras di dunia… melalui inilah saya mengetahui keuntungan untuk tidak mengambil tindakan apapun.”[33] Di dalam dunia manusia, menurutnya, negara-negara yang kuat dapat dengan mudah mendeklarasikan sebuah perang. Akan tetapi pada akhirnya, negara-negara yang lebih lemahlah yang akan menang. Ini adalah kebenaran yang nyata, bahwa kelemahlembutan dapat melampaui kekerasan. Walaupun begitu nyata, tetapi orang begitu cepat lupa dengan hal ini, sekaligus begitu sulit untuk mempertahankan kesadaran semacam ini.

Konsep lainnya yang sangat penting di dalam etika Taoisme adalah tzu-jan, atau apa yang disebut sebagai spontanitas. Tzu-jan juga bisa berarti “menjadi alami” (being natural). Karena Tao adalah sesuatu yang alami, dan segala sesuatu berasal dari Tao, maka segala sesuatu di dunia ini juga bersifat alami. Dan segala sesuatu yang bersifat alami selalu berjalan dengan spontanitas. Suatu sikap yang didasarkan pada sesuatu yang tidak natural biasanya akan berakhir dengan kegagalan. “Kepercayaan bahwa alam semesta dan kehidupan sosial akan berkembang secara spontan”, demikian tulis Xiaogan, “adalah fondasi dari teori etika wu-wei, sekaligus fondasi dari filsafat Tao.”[34] Di dalam penafsiran-penafsiran kontemporer, tzu-jan juga dipahami sebagai suatu kesadaran bahwa realitas ini akan berubah tanpa keterputusan total, dan perubahan itu sendiri akan datang tanpa konflik dan tanpa kekerasan.

Taoisme tentang Politik dan Masyarakat

Pemikiran Taoisme Lao Tzu juga bisa diterapkan dalam konteks kehidupan sosial. Masyarakat ideal Taoisme adalah masyarakat primitif dengan tata kehidupan yang alami, harmonis, sederhana, dan berjalan tanpa kompetisi ataupun perang.

“Biarlah ada sebuah negara kecil dengan populasi yang kecil… biarlah orang memberi nilai tinggi bagi kehidupan mereka dan tidak bermigrasi ke tempat yang jauh… biarlah mereka makan dengan senang, menikmati pakaian mereka, nyaman dengan rumah mereka, dan puas dengan budaya mereka.”[35]

Ini adalah gambaran indah tentang masyarakat yang dicita-citakan oleh Lao Tzu, yakni masyarakat agraris primitif yang hidup dengan kedamaian, kebahagiaan, dan kepuasan.

Gambaran ini juga sekaligus merupakan kritik terhadap masyarakat kontemporer. Lao Tzu secara tegas mengutuk para penguasa. “Warga kelaparan”, demikian tulisnya, “karena para penguasa mengambil terlalu banyak pajak gandum… warga memandang kematian dengan begitu mudah dan begitu gampang karena penguasa memelihara kehidupan mereka secara berlebihan.”[36] Di dalam pandangan filsafat Taoisme, kekuasaan adalah sumber dari segala ketidakberuntungan dan kekacauan.

Filsafat Taoisme telah mempengaruhi budaya Cina secara mendalam. Akan tetapi, arti penting Taoisme justru baru bisa dimengerti, jika kita mengontraskan ajaran ini dengan Konfusianisme. Konfusianisme menekankan bahwa setiap orang haruslah menerima kewajiban dan tanggung jawab sosial mereka. Bahkan seringkali dikatakan, bahwa Konfusius adalah orang yang akan melakukan kewajibannya, walaupun hal itu tampak tidak mungkin untuk dilakukan. Manusia yang ideal adalah manusia adalah manusia yang rela mengorbankan dirinya untuk melakukan kewajiban dan tugasnya kepada negara.

Akan tetapi, tidak semua orang yang bisa hidup dengan cara seperti itu. Manusia membutuhkan suatu cara untuk mengembangkan dirinya sendiri, walaupun hal itu dilakukan bertentangan dengan kewajiban dan tanggung jawab sosialnya. Inilah yang ingin ditawarkan oleh Taoisme. “Taoisme”, demikian tulis Xiaogan, “mengajarkan orang untuk melihat konflik manusia dari perspektif seluruh alam semesta.”[37] Di dalam Taoisme, perbedaan antara keberuntungan dan ketidakberuntungan, antara kemuliaan dan penghinaan, antara kesuksesan dan kegagalan, tidaklah boleh dipikirkan terlalu serius. Jika dilihat dari sudut pandang keseluruhan alam semesta, tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan di muka bumi ini. Dengan menjadikan filsafat Tao sebagai panduan hidupnya, orang akan bisa melepaskan diri dari perjuangan tanpa henti, dan menenangkan dirinya, ketika ia sedang menderita secara spiritual.

Beberapa ahli mengkritik sikap semacam ini sebagai suatu bentuk penipuan diri. Misalnya di masa revolusi kebudayaan Cina, banyak orang mengalami penderitaan berat. Ada seseorang yang sedang dipenjara. Ia dipenjara selama 10 tahun tanpa alasan yang jelas. Jika ada seorang Taois di sana, ia akan berkata pada orang yang dipenjara tersebut, “Memang, kau mengalami kehilangan besar di dalam hidupmu. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan mantan presiden Liu-Shao-ch’i yang mati karena dipenjara secara ilegal, apa yang kau derita sekarang ini bukanlah apa-apa. Cobalah berpikir betapa beruntungnya dirimu karena kamu masih hidup dan memiliki keluarga.”[38] Karena selalu masih ada orang yang lebih menderita di dunia ini, maka penderitaan yang kamu alami sekarang tidaklah berarti. Kesadaran semacam ini memang memberikan rasa nyaman tersendiri. Filsafat Tao mengajak orang untuk membuka pikiran dan melebarkan perspektif mereka, sehingga mereka bisa merasa tenang di dalam penderitaan. Orang yang menghayati filsafat Tao di dalam hidupnya akan menjalankan hidup yang sehat, walaupun banyak krisis dan penderitaan yang dihadapi.

Di dalam seluruh tulisan ini, mengikuti Liu Xiaogan, saya memfokuskan filsafat Tao pada konsep etika wu-wei. Apa relevansinya bagi kehidupan kita? Xiaogan memberikan contoh tentang mobil. Setiap mobil pasti memiliki mesin dan rem. Tidak ada orang yang mau mengendarai mobil yang tidak memiliki rem. Bahkan, setiap benda bergerak di muka bumi ini selalu membutuhkan semacam rem. Bagaimana dengan motivasi dan aktivitas sosial manusia, apakah ini juga membutuhkan semacam rem? Dapatkah orang mengejar apa yang mereka inginkan secara tanpa batas? Dapatkah suatu gerakan sosial, walaupun memiliki cita-cita yang sangat luhur, dapat bergerak cepat langsung mewujudkan tujuan mereka? Jawabannya jelas, tidak! “Motivasi manusia dan gerakan sosial”, demikian Xiaogan, “juga membutuhkan sesuatu yang bekerja sebagai rem, yang dapat mengatur dan membatasi tindakan manusia untuk melindungi masyarakat manusia.”[39] Jadi, apa yang kiranya dapat menjadi rem untuk masyarakat? Salah satu jawaban yang mungkin adalah konsep etika wu-wei, yang merupakan inti dari seluruh etika yang diajarkan oleh Lao Tzu. Tampaknya, berhenti sejenak bersama etika wu-wei memang mudah diucapkan, tetapi sangat sulit dilakukan. Salah satu hal yang paling sulit yang bisa dilakukan manusia sekarang ini adalah… diam.

Daftar Rujukan

Liu Xiaogan, “Taoism”, dalam Our Religions, Arvind Sharma (ed), New York: HarperCollins, 1993, hal. 231-287.

http://www.taopage.org/nondoing.html

http://www.jadedragon.com/archives/june98/tao.html

[1] Alan Watts, Tao: The Watercourse Way, Pantheon Books, 1973, dalam http://www.taopage.org/nondoing.html

[2] http://www.jadedragon.com/archives/june98/tao.html

[3] Untuk bagian kedua dan ketiga tulisan ini, saya menggunakan tulisan Liu Xiaogan, “Taoism”, dalam Our Religions, Arvind Sharma (ed), New York: HarperCollins, 1993, hal. 231-287.

[4] Lihat, Ibid, hal. 232.

[5] Ibid.

[6] Liu Xiaogan, 1993, hal. 238.

[7] Ibid.

[8] Seperti dikutip Ibid, hal. 239.

[9] Dikutip Xiaogan dari Lao Tzu, chap. 14, dengan berdasar pada terjemahan dari D.C. Lau, Chinese Classics: Tao Te Ching, Hongkong: Chinese University Press, 1982.

[10] Dikutip Xiaogan dari Burton Watson, The Complete Works of Chuang Tzu, New York and London: Columbia University Press, 1968, hal. 78-80.

[11] Xiaogan, 1993, hal. 239.

[12] Dikutip oleh Xiaogan dari Pao Pu Tzu Nei-P’ien Chiao-Shih. Peking: Chung-hua Shu-chü, 1985, chap. 3, hal. 53.

[13] Xiaogan, 1993, hal. 240.

[14] Ibid, hal. 241.

[15] Ibid.

[16] Dikutip Xiaogan dari chapter 42, dalam D.C Lau, Chinese Classics, 1982.

[17] Lihat, Xiaogan, 1993, hal. 241.

[18] Dikutip Xiaogan dari D.C Lau, 1982, chapter 14.

[19] Ibid, chapter 48.

[20] Xiaogan, 1993, hal. 241.

[21] Dikutip Xiaogan dari Lau, 1982, chapter. 48.

[22] Ibid, chapter. 25.

[23] Ibid, chapter. 34.

[24] Ibid, chapter. 2.

[25] Xiaogan, 1993, hal. 242.

[26] Dikutip Xiaogan dari Lau, 1982, chapter. 28.

[27] Ibid, chapter. 36.

[28] Xiaogan, 1993, hal. 242.

[29] Ibid, hal. 243.

[30] Lihat, ibid.

[31] Dikutip Xiaogan dari Lau, 1982, chapter. 57.

[32] Ibid, chapter. 48.

[33] Ibid, chapter. 43.

[34] Xiaogan, 1993, hal. 244.

[35] Ibid.

[36] Ibid.

[37] Ibid, hal. 281.

[38] Ibid, hal. 282.

[39] Ibid.

Sudah dipublikasikan di www.dapunta.com

Penulis:

Reza A. A Wattimena

Pengajar di Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, Anggota Komunitas Diskusi Lintas Ilmu COGITO, dan peneliti di Forum Kajian Multikulturalisme (FORKAM), Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar