Kamis, 10 Desember 2009

PUSAKA KALIMASADHA DAN CHUNDAMANI

Kalimasadha dalam Budaya Jawa

Dalam cerita pewayangan, dikenal pusaka keramat milik Prabu Yudhistira dari kerajaan Amartha, sebagai warisan dari Kyai Semar yakni Jamus Kalimasada. Jamus Kalimasada adalah pusaka untuk menangkal kesengsaraan, nasib celaka, bebendu atau hukuman dari Tuhan.

Kalimasada (Kalima usada=jajampi wari gansal) lima macam ‘jamu’ atau lima macam tindakan (lelampahan gangsal ) yang harus dilakukan setiap orang agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat (kawilujengan). Lima macam tindakan tersebut adalah:
1. Suci = setia, jujur
2. Sentausa = adil paramarta. tanggungjawab
3. Kebenaran= sabar, belas kasih, rendah hati
4. Pintar/kepandaian= pandai ilmu, pandai mengenakkan hati sesama, pandai meredam hawa nafsu
5. Kesusilaan= selalu sopan-santun, teguh memegang tatakrama
Langkah Kelima perkara tadi tidak boleh diabaikan salah satunya. Jadi harus dilakukan serempak bersama-sama, atau diistilahkan Jawa; ayam kapenang.

Sebutan ayam kapenang tersebut kemudian digunakan sebagai paugeran atau patokan yang menjadi petunjuk hidup. Dalam pewayangan, ayam kapenang tersebut menjadi perwujudan watak masing-masing Satria Pendawa Lima. Sehingga disebut sebagai ayam kapenang artinya telur ayam sak petarangan, yang mengandung maksud; pecah satu maka akan pecah semua. Ini untuk membahasakan guyub rukun nya para kesatria Pendawa Lima dalam tali persaudaraan, ada yang mati satu maka yang lain pasti akan membelanya.

Langkah Lima perkara tersebut harus dijalankan secara kompak bersama-sama, jika salah satu tidak jalan maka akan mengalami kegagalan. Seumpama, walaupun sudah menjalankan kesetiaan, kesentausaan, kepandaian, kesusilaan, tetapi buta akan kebenaran sudah tentu tidak menjadi manungso pinunjul. Kebenaran dilupakan, artinya tidak memahami akan benar salahnya tindakan, perbuatan, dan pekerjaan. Maka kesetiaan dan kesantausaannya hanya untuk mendukung kepada perbuatan, tindakan, pekerjaan yang tidak benar. Kepandaian dan  kesusilaannya juga hanya untuk membodohi (baca;Jawa; minteri) orang lain. Perbuatan demikian yang menjadikan musabab menganggap enteng segala bahaya dan resiko, yang tidak bisa ditolak hanya dengan doa, justru sebaliknya, niscaya manusia akan jatuh dalam duka dan kesengsaraan.

Kalimasadha Dalam Cerita Pewayangan
Jamus Kalimasada diwahyukan kepada Pendawa Lima dan diteruskan kepada para puteranya. Jadi para putera Pendawa Lima merupakan pralampita, pengejawantahan dari panca indera manusia yang meliputi mata, hidung, telinga, lidah, dan kulit dan anggota badan.

Pertama adalah Sang Pretiwindya putera dari Prabu Yudhistira sebagai perlambang indera penglihatan, Sang Sutasoma, putera Sang Werkudara  sebagai perlambang dari indera penciuman, ketiga yakni Sang Sutakirti putera Sang Arjuna sebagai perlambang indera pendengaran, ke empat yakni kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa, putera Raden Nakula yakni Sang Satanika sebagai perlambang lidah sebagai indera perasa, dan Sang Srutakarma putera dari Raden Sadewa  sebagai perlambang kulit dan seluruh anggota badan sebagai indera perasa pula. Kelima putera tersebut dari satu isteri Pendawa Lima yakni Dewi Drupadi sebagai wujud retasan dari Yang Maha Kuasa  (purbawisesaning gesang). Sehingga dapat diambil intisarinya yakni asal muasalnya panca indera tidak lain dari wujud ciptaan Sang Khaliq, Tuhan Yang Maha Kuasa, Sang Hyang Wenang, Gusti Kang Maha Wisesa.

Tetapi, Sang Werkudara dari isteri Dewi Arimbi kemudian dikaruniai anak bernama Gatutkaca, selanjutnya sebagai perlambang dari pamicara. Pamicara atau bicara dengan bahasa manusia, bukanlah kewenangan Sang Hyang Wenag, purbawasesaning gesang hanya menciptakan suara untuk makhluknya, tidak menciptakan bahasa manusia. Bahasa atau bicara, wicara, merupakan hasil karya peradaban manusia, sehingga Gatutkaca bukan menjadi putera Werkudara dengan Dewi Drupadi, tetapi dengan Dewi Arimbi. Sang Werkudara sendiri merupakan perlambang hawa atau udara, maka Gatutkaca adalah putera Werkudara dengan Dewi Arimbi, bukan dengan Dewi Drupadi. Artinya, bahwa nafas dan suara asalnya dari hawa atau udara. Maka jika mulut dubungkam, dan hidung ditutup, pati tidak akan bisa bicara.

Pusaka Chundamani,
Senjata Ampuh untuk Mewujudkan Harapan dan Cita-cita

Gatutkaca melengkapi Pendawa Lima, menjadi Sadrasa, rahsa nem, atau enam rasa. Yang dapat mengalahkan Pendawa Lima plus Gatutkaca, sebagai enam rasa, adalah Aswatama.

Oleh Aswatama, sadrasa  dapat disirnakan. Aswa = kapal perang, tama = utama, baik, mulia, luhur. Aswatama = kendaraan atau alat yang dapat mengantarkan kepada keutamaan lahir batin.  Kendaraan atau alat bermakna juga sebagai perbuatan atau pekerjaan yang baik, utama, mulia, luhur. Aswatama mendapat pusaka dari orang tuanya Sang Durna, pusaka bernama chundamani. Chunda = chunduk, mani = manik = rahsa. Chunduk artinya cocok, tunggal, membaur. Sehingga chundamani merupakan intisari dari segala perbuatan yang baik untuk mencapai tujuan yang mulia, dengan cara menyatukan rasa atau tunggal rasa, yakni membaurnya ke enam rasa atau sadrasa.

 Sebagaimana tata cara orang berdoa agar supaya tijab, makbul, terkabul, diterima Tuhan, bukan dengan doa berkuantitas banyak dan repetitif, atau mencari waktu-waktu tertentu yang dianggap baik, tetapi justru dengan cara menyatukan seluruh komponen indera yang kita punya, yakni hati, fikiran, ucapan, dan tindakan. Orang sering salah memahami hakekat dari doa. Doa bukan sekedar yang tersirat dan yang terucap.

Doa merupakan keseluruhan dari sebuah tindakan yang kompakdan harmonis, meliputi hati, fikiran, ucapan, tindakan. Keempat komponen tersebut tidak bisa dipisahkan, pecah satu pecah semua, seperti makna Pendawa Lima dan Pusaka Kalimasada. Sebagai contoh, jika hati dan ucapan kita berdoa memohon kesehatan kepada Tuhan, namun fikiran dan perbuatan selalu tergoda dengan makanan lezat mengandung kolesterol tinggi, maka hanya akan menggagalkan doa permohonan sehat tersebut. Atau, ucapan dan tindakannya menghindari makanan dan perbuatan yang dapat merusak badan, tetapi hati dan fikirannya tidak kompak, maka hanya menghasilkan perbuatan enggan, setengah hati, dan malas. Lahiriah dan batiniahnya tidak kompak, suka membohongi diri sendiri, membantah diri sendiri, dan munafik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar