Jumat, 04 September 2009

HAKEKAT PERKAWINAN MENURUT JAWA


(from My Lovely Daddy)

Anak saya yang saat ini kuliah di sebuah Perguruan Tinggi Negeri mendapatkan rasa tidak nyaman dalam hatinya dikarenakan dalam `kuliah agama', dosennya menyoal tentang tatacara adat perkawinan Jawa yang dinilai penuh dengan `klenik' dan `ketahayulan'.

Demikian pula ketika saya mengijinkan anak saya yang lain menikah `lintas agama', maka saya mendapat `penyikapan' yang kurang nyaman dari teman-teman saya yang `tidak mudheng Jawa'.

Sebagai wong Jawa (kodrat ketentuan Tuhan untuk saya)dan mudheng tentang ke-Jawa-an saya, maka saya perlu memberi penjelasan kepada anak-anak saya (khususnya) dan para lajer Jawa yang lain (umumnya) tentang `hakekat Perkawinan' menurut Kejawen.

Kejawen adalah ajaran `kajatening urip' (sejatining urip, hakekat hidup). Maka dalam hal perkawinan dua sejoli merupakan bagian `hakekat hidup' tadi.

Artinya, bahwa perkawinan itu hakekatnya adalah ujud `sabda dhawuh'-nya Tuhan (kodrat Tuhan) kepada manusia untuk berkembang biak. Maka dalam pandangan Kejawen, perkawinan itu sakral dan berhubungan dengan`penciptaan' manusia baru (anak) oleh Tuhan.

Dalam Kejawen, perkawinan bukan sekedar urusan `hukum kawin mawin' yang pijakannya sekedar memberi payung hukum masalah kebirahian (hubungan seks), tetapi mendalam kepada tingkat pemahaman keber-Tuhan-an. Yaitu kesadaran tentang bagaimana manusia itu diciptakan, bagaimana hubungan penciptaan itu dengan alam semesta, dan bagaimana manusia yang menyatakan beradab Menyikapi `penciptaan' itu.

Tatacara perkawinan Jawa merupakan wujud nyata penjelasan pandangan Jawa terhadap `hakekat perkawinan' yang fokus utamanya kepada kodrat Tuhan untuk penciptaan atau perkembang biakan manusia. Pokok ajaran (filosofi) Jawa tentang perkawinan ditujukan kepada `titising wiji'. Maka tatacara adat perkawinan Jawa lebih tertuju kepada penjelasan `titising wiji' tersebut. Penjelasannya menggunakan simbul-simbul yang bermakna dalam.

Dimulai dengan acara lamaran yang mengekspresikan bahwa kedua keluarga calon penganten mendapatkan kesadaran tentang terpilihnya dua keluarga tersebut oleh Tuhan dalam rangka akan menciptakan `manusia-manusia baru' (anak). Kedua keluarga tersebut akan `besanan' yang artinya bahwa kedua keluarga tersebut bersedia `dipilih Tuhan' untuk penciptaan (perkembang biakan) manusia yang akan menjadi anak-keturunan kedua keluarga tersebut.

Karena landasannya berupa `penerimaan' sabda dhawuhing Gusti untuk penciptaan manusia, maka fokus perhatian adat istiadat Jawa tertuju kepada `penciptaan' tersebut. Oleh karena itu dalam upacara perkawinan ditentukan persyaratan-persyaratan (berupa simbul-simbul) yang intinya: kesucian, keindahan, kesemestaan, dan doa untuk segera terjadi `titising wiji'.

`Titising wiji' merupakan wujud nyata `penciptaan',maka menjadi pokok perhatian adat Jawa dalam hal perkawinan. Wujud perhatian tersebut diawali berupa doa harapan yang diekspresikan dalam upara robyongan atau temon dan pesan-pesan serta larangan-larangan Yang harus dijalani penganten setelah Menikah.

Kemudian dilanjutkan dengan adanya upacara dan persyaratan-persyaratan yang harus dijalani kedua mempelai ketika yang perempuan sudah mulai mengandung.

Diantaranya berupa ritual tiga bulanan dan tujuh bulanan serta larangan macam-macam bagi si calon ibu dan calon bapak (diantaranya larangan membunuh mahluk bernyawa). Upacaranya mengacu kepada `syukur' atas `kebenaran' sabda dhawuhing Gusti, sedang larangan yang harus dijalani si calon ibu dan calon ayah
sebagian besarnya merupakan `pra natal edukasi'.

Apakah dalam budaya dan peadaban lain (termasuk yang bertolak dari ajaran agama) mengenal ritual untuk terciptanya manusia di kandungan Ibu sebagaimana yang ada di budaya dan peradaban Jawa ?

Hendaknya manusia tidak `samar kalingan padhang' sehingga tanpa sadar menyangkal adanya kemahakuasaan Tuhan' tentang `penciptaan'. Bagi manusia yang `samar kalingan padhang' memandang `aneh' akan kekuasaan Tuhan mempertemukan dua sejoli berbeda agama sebagai `sarana penciptaan', maka mereka ini membuat aturan-aturan yang melarang perkawinan lintas agama.

Lhoh kok malah dijadikan panutan ? Apa tidak ketatab suwung, kesandhung rata, kebenthus ing tawang namanya ? Rumangsane bener dan suci dhewe, jebule malah jauh dari kreteria beradab. Perkawinan kok mik dipandang dari urusan hubungan seks. Hukumnya juga mengacu ke masalah itu saja. Contohnya, masalah masa haid, nifas dan masa idah itu kok ujung-ujungnya begitu rendah, kapan seorang perempuan bisa dipergauli bukan ? Kok tidak ngrembuk masalah `titising wiji' ya ?

Demikian, semoga bermanfaat untuk lebih memahami `sejatining urip' yang merupakan landasan pokok ajaran Kejawen. Suwun.

1 komentar:

  1. mohon maaf pak, untuk perkawinan Sapto Darmo, Sumarah, dan aliran yang lainnya apakah ada buku panduannya..?

    BalasHapus